Minggu, 08 Agustus 2010

Wanita Muslimah Menikah Dengan Laki-Laki Non Muslim

Wanita Muslimah Menikah Dengan Laki-Laki Non Muslim



Pertanyaan.: "Bagaimana hukumnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim?"

Jawaban.
Pernikahan tersebut batil karena bertentangan dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits serta ijma' para ulama.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke Surgadan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". [Al-Baqarah : 221]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka" [Al-Mumtahanah : 10]


Sebab pernikahan semacam itu hanya akan merusak aqidah dan agama wanita
muslimah. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam ayat di atas " Mereka mengajak ke Neraka". Artinya secara umum tindakan orang-orang musyrik baik segi ucapan atau perbuatan mereka selalu mengajak ke neraka. Lewat hubungan pernikahan seseorang sangat mudah mempengaruhi orang lain. Apalagi sang suami pada umumnya menghendaki dan berusaha agar sang istri mengikuti agama yang dia yakini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka" [Al-Baqarah : 120]

Laki-laki non muslim bukan pasangan yang sesuai bagi wanita muslimah sebab dalam timbangan hukum Islam hak suami menuntut adanya kelebihan dari hak istri. Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)" [An-Nisa':34]

Hak-hak yang ada dalam ayat ini tidak akan tercapai apabila rumah tangga terdiri dari suami kafir dan istri seorang wanita muslimah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman" [An-Nisa : 141]

Secara naluri zhahir maupun batin seorang istri lebih lemah dibanding suami, padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Islam itu tinggi tidak bisa diungguli agama apapun". Siapa saja yang melakukan pernikahan tersebut harus dikenakan sanksi tegas sesuai dengan hukum Islam. Barangsiapa yang melegalkan dan menganggap halal atas pernikahan tersebut, maka telah keluar dari agama Islam. Akan tetapi apabila seseorang melakukan pernikahan tersebut hanya ikut-ikutan dan tidak menganggap halal, maka dia telah berbuat dosa besar dan kejahatan yang sangat keji tetapi tidak keluar dari agama Islam. Dan wanita yang melakukan perbuatan tersebut harus dikenakan sanksi berupa rajam bagi wanita janda dan didera seratus kali dan dibuang selama setahun bagi wanita gadis. Tetapi bila seorang wanita melakukan perbuatan tersebut atas dasar ketidaktahuan, maka sanksi dan hukuman tersebut menjadi gugur sebab terdapat subhat di dalamnya.

Pernikahan yang terlaksana wajib segera dibatalkan dan laki-laki non muslim tersebut harus juga dikenakan sanksi sesuai dengan yang berlaku. Bagi pihak yang berwenang harus jeli dalam melihat kemaslahatan hukum syar'i dan tegas dalam menangani kasus seperti ini. Jika secara hukum agama dan maslahat umum seorang non muslim tersebut harus dibunuh, maka langkah tersebut harus dipenuhi.

Husband demands wife suck his penis (oral sex)

Husband demands wife suck his penis (oral sex)

Question: One of the sisters is asking, saying that she is a practising young woman who got married six months ago. (She says) her husband demands she suck his penis, and she asks if this is permissible or not?

Response: All praise is due to Allaah (alone). There is no doubt that (the request of) this practise from the husband of the questioner is a disgusting practise and obviously disliked. It also undermines the (good) manners between the husband and wife, and could possibly be a cause for (each partner) disliking (the other) and (leading to) separation (divorce).

'Aa.ishah (radhi-yallaahu 'anhaa) was one of the wives of the Messenger of Allaah (sal-Allaahu `alayhe wa sallam), and it has been narrated on her authority that:

((He (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) did not see this of her and she did not see this of him)). (i.e. they did not see each other's private parts, even though it is permisible).

As regards the ruling about this, then the least that can be said about it is that it is disliked, and Allaah knows best.

Shaykh 'Abdullaah ibn Munee'
Fataawa Muhimmah li-Nisaa. al-Ummah – Page 154

..........
Note: The basic ruling regarding the wife seeking pleasure of her husband's penis is that of permissibility, however, that which is feared is that this act may lead to possible oral intake of sperm or prostatic fluids. The Hanaabilah have indicated the permissibility of a wife kissing her husband's penis, as is mentioned in ((al-Insaaf)) of al-Maardeenee [Volume 8, Page 33], and this is the opinion of Ibn 'Aqeel and other than him. Also, Asbagh from the Maalikiyyah has indicated the permissibility of a man kissing his wife's vagina as is mentioned in ((Tafseer al-Qurtubee)) [Volume 12, Page 231].

Husband and wife looking at each others bodies

Husband and wife looking at each others bodies

Question: Is it permissible, according to the Sharee'ah, for a woman to look at the entire body of her husband, and for him to look at her with the intention of seeking enjoyment in that which is halaal?

Response: It is permissible for a woman to look at the entire body of her husband, and it is permissible for the husband to look at the entire body of his wife without going into much detail (here), as Allaah (Subhaanahu wa Ta'aala) says:

{And those who guard their chastity. Except from their wives or that their right hands possess, for then, they are free from blame. But whoever seeks beyond that, then those are the transgressors}, [Soorah al-Mu.minoon, Aayah 5-7]

Had a wet dream and then had sexual intercourse with my wife

Had a wet dream and then had sexual intercourse with my wife

Question: I slept next to my wife and saw in my dream that I was having sexual intercourse, and as a result, I ejaculated sperm. So when I awoke from my dream I washed myself and went to my wife and had sexual intercourse with her. So is there any sin upon me or not?

Response: If the situation is as you have described, then there is no sin upon you with respect to the dream, rather it is upon you to take a ghusl as a result.

Likewise, it is upon you to take a ghusl for a second time after having had sexual intercourse with your wife.

However, if you delayed taking a ghusl as a result of the dream until you had sexual intercourse with you wife, and then took a ghusl for them both (the dream and sexual intercourse with the wife), then there is no harm in this.

And with Allaah lies all success and may Allaah send prayers and salutations upon our Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) and his family and his companions

WOMEN'S ISSUES | Menstruation |

WOMEN'S ISSUES | Menstruation |


Ruling concerning a discharge of blood five days before giving birth

Question: A woman had bleeding during pregnancy, five days before giving birth, during the month of Ramadhaan. Should that blood be considered menstruation or istihaadha and what are the obligations upon her?

Response: If the matter is as mentioned, with her seeing blood five days before giving birth, and she did not have any signs that labor would be soon, such as contractions, in that case, the blood is neither menstruation nor post-partum bleeding. It is simply irregular blood. Therefore, she should not abandon the acts of worship but she must fast and pray. If along with the blood she has signs that her labor is near, such as contractions, then it is considered post-partum bleeding and she abandons, due to it, praying and fasting. Then if she becomes pure after giving birth, she must make up the days of fasting but not the prayers.

And with Allaah lies all success and may Allaah send prayers and salutations upon our Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sall

Ruling concerning anal intercourse

Ruling concerning anal intercourse

Question: A man asked his wife to have anal intercourse with him. Is this acceptable behavior from the point of view of the religion?

Response: That is an evil act. Abu Daawood, an-Nasaa.ee and others record with a good chain that the Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) said:

((Accursed is the one who has anal intercourse with his wife)).

Shaykh Ibn 'Uthaymeen
Fataawa al-Mar.ah

Husband calls his wife to bed, but she is ill and unable to respond to his call

Husband calls his wife to bed, but she is ill and unable to respond to his call

Question: Does the woman fall into sin if she refuses her husband when he calls her (to his bed) if she is suffering from a fleeting mental lapse, or she is ill and suffering from pain?

Response: It is obligatory upon the woman to respond to her husband if he calls her to his bed. However, if she is ill due to a mental lapse and is unable to face her husband, then in this situation it is not permissible for her husband to request her (to satisfy his (sexual) needs) as the Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) said:

((There is to be no harm and no causing of harm)).

And it is upon him to restrain himself and seek to satisfy (himself) with his wife in a manner which will not cause any harm (to her).

Having sexual intercourse with the wife whilst she is pregnant

Having sexual intercourse with the wife whilst she is pregnant

Question: Is it permissible to have sexual intercourse with the wife whilst she is pregnant? And is there any evidence in the Qur.aan and the Sunnah which indicates a permissibility or impermissibility for this?

Response: It is permissible for the man to have sexual iintercourse with his wife whilst she is pregnant, as Allaah (Subhaanahu wa Ta'aala) says:

{Your wives are a tilth for you...}, [Soorah al-Baqarah, Aayah 223]

And the evidence is His (Subhaanahu wa Ta'aala) saying:

{And those who guard their chastity. Except from their wives or that their right hands possess...}, [Soorah al-Mu.minoon, Aayah 5-6]

So the statement {Except from their wives} implies the basis for a man seeking satisfaction from his wife is permissible in all cases. However, that which occurs in the Qur.aan and the Sunnah in terms of an obligation to keep away from the woman is a general prohibition, so it is not necessary to seek evidence as to the permissibility of sexual intercourse with a pregnant wife, since the basis is permissibility.

And it is not permissible for a man to have sexual intercourse with his wife via her vagina when she is on her menses, however, it is (permissible) for him to seek enjoyment with her in everything other than the vagina.

And it is not permissibile for him to penetrate her in her anus because that is the place of excrement and filth.

And it is not permissible for him to have sexual intercourse with her if she is in the state of post partum bleeding. However, if she is in a state of purity from her menses and post partum bleeding, then it is (permissible) for him to have sexual intercourse with her, even if she becomes pure from her post partum bleeding before the completion of

Hukum Menghadiri Pernikahan Kafir

Hukum Menghadiri Pernikahan Kafir

HUKUM IKUT MERAYAKAN PESTA, WALIMAH, HARI BAHAGAIA ATAU HARI DUKA MEREKA
DENGAN HAL-HAL YANG MUBAH SERTA BERTA'ZIYAH PADA MUSIBAH MEREKA.

Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahniah) atau ucapan belangsungkawa
(ta'ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala' dan
mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti
pengagungan (penghormatan) terhadap mereka. Maka hal itu diharamkan
berdasarkan larangan-larangan ini. Sebagaimana haram mengucapkan salam
terlebih dahulu atau membuka jalan bagi mereka.

Ibnul Qayyim berkata, "Hendaklah berhati-hati jangan sampai terjerumus
sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha
mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, "Semoga Allah membahagiakan
kamu dengan agamamu", atau "memberkatimu dalam agamamu", atau berkata,
"Semoga Allah memuliakannmu". Kecuali jika berkata, " Semoga Allah
memuliakanmu dengan Islam", atau yang senada dengan itu.

Itu semua tahniah dengan perkara-perkara umum. Tetapi jika tahni'ah itu
dengan syi'ar-syi'ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan
puasa mereka, dengan mengatakan, "Selamat hari raya Natal" umpanya atau
"Berbahagialah dengan hari raya ini" atau yang senada dengan itu, maka jika
yang mengucapakannya selamat dari kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat
dan keharaman. Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat
terhadap sujud mereka kepada salib ; bahkan di sisi Allah hal itu lebih
dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh
orang atau berzina atau sebangsanya.

Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang melakukan bid'ah, maksiat atau kekufuran maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama wira'i (sangat menjauhi yang makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni'ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen, atau mufti ; demi untuk menghindari murka Allah dan laknat-Nya.[1]

Dari uraian tersebut jelaslah, memberi tahniah kepada orang-orang kafir
atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung
makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni'ah
atas hari-hari raya mereka atau syai'ar-syi'ar mereka adalah haram hukumnya
dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.

Jeritan seorang Perawan Tua

Jeritan seorang Perawan Tua


Fenomena bertambahnya jumlah wanita yang terlambat menikah (perawan tua)
menjadi satu perkara yang menakutkan saat ini, mengancam kebanyakan
pemudi-pemudi di masyarakat kita yang Islami, bahkan di seluruh dunia.
Berikut ini marilah kita mendengarkan salah satu jeritan mereka :

Majalah Al-Usrah edisi 80 Dzulqa'dah 1420 H menuliskan jeritan seorang
perawan tua dari Madinah Munawaroh,"Semula saya sangat bimbang sebelum
menulis untuk kalian karena ketakutan terhadap kaum wanita karena saya
tahu bahwasanya mereka akan mengatakan bahwa aku ini sudah gila, atau
kesurupan. Akan tetapi, realita yang aku alami dan dialami pula oleh
sejumlah besar perawan-perawan tua, yang tidak seorang pun
mengetahuinya, membuatku memberanikan diri. Saya akan menuliskan kisahku
ini dengan ringkas.

Ketika umurku mulai mendekati 20 tahun, saya seperti gadis lainnya
memimpikan seorang pemuda yang multazim dan berakhlak mulia. Dahulu saya
membangun pemikiran serta harapan-harapan; bagaimana kami hidup nanti
dan bagaimana kami mendidik anak-anak kami... dan.. dan...

Saya adalah salah seorang yang sangat memerangi ta'adud (poligami).
Hanya semata mendengar orang berkata kepadaku, "Fulan menikah lagi yang
kedua", tanpa sadar saya mendoakan agar ia celaka. Saya berkata, "Kalau
saya adalah istrinya -yang pertama- pastilah saya akan mencampakkannya,
sebagaimana ia telah mencampakkanku'. Saya sering berdiskusi dengan
saudaraku dan terkadang dengan pamanku mengenai masalah ta'addud. Mereka
berusaha agar saya mau menerima ta'addud, sementara saya tetap keras
kepala tidak mau menerima syari'at ta'addud. Saya katakan kepada mereka,
'Mustahil wanita lain akan bersama denganku mendampingi suamiku".
Terkadang saya menjadi penyebab munculnya problema-problema antara
suami-istri karena ia ingin memadu istri pertamanya; saya menghasutnya
sehingga ia melawan kepada suaminya.

Begitulah, hari terus berlalu sedangkan aku masih menanti pemuda
impianku. Saya menanti... akan tetapi ia belum juga datang dan saya
masih terus menanti. Hampir 30 tahun umurku dalam penantian. Telah lewat
30 tahun... oh Illahi, apa yang harus kuperbuat? Apakah saya harus
keluar untuk mencari pengantin laki-laki? Saya tidak sanggup,
orang-orang akan berkata wanita ini tidak punya malu. Jadi, apa yang
akan saya kerjakan? Tidak ada yang bisa saya perbuat, selain dari menunggu.

Pada suatu hari ketika saya sedang duduk-duduk, saya mendengar salah
seorang dari wanita berkata, 'Fulanah jadi perawan tua". Aku berkata
kepada diriku sendiri, "Kasihan Fulanah jadi perawan tua", akan
tetapi... fulanah yang dimaksud itu ternyata aku. Ya Illahi!
Sesungguhnya itu adalah namaku... saya telah menjadi perawan tua.
Bagaimanapun saya melukiskannya kepada kalian, kalian tidak akan bisa
merasakannya. Saya dihadapkan pada sebuah kenyataan sebagai perawan tua.
Saya mulai mengulang kembali perhitungan-perhitunganku, apa yang saya
kerjakan?

Waktu terus berlalu, hari silih berganti, dan saya ingin menjerit. Saya
ingin seorang suami, seorang laki-laki tempat saya bernaung di bawah
naungannya, membantuku menyelesaikan problema-problemaku... Saudaraku
yang laki-laki memang tidak melalaikanku sedikit pun, tetapi dia bukan
seperti seorang suami. Saya ingin hidup; ingin melahirkan, dan menikmati
kehidupan. Akan tetapi, saya tidak sanggup mengucapkan perkataan ini
kepada kaum laki-laki. Mereka akan mengatakan, "Wanita ini tidak malu".
Tidak ada yang bisa saya lakukan selain daripada diam. Saya tertawa...
akan tetapi bukan dari hatiku. Apakah kalian ingin saya tertawa,
sedangkan tanganku menggenggam bara api? Saya tidak sanggup...

Suatu hari, saudaraku yang paling besar mendatangiku dan berkata, "Hari
ini telah datang calon pengantin, tapi saya menolaknya..." Tanpa terasa
saya berkata, "Kenapa kamu lakukan? Itu tidak boleh!" Ia berkata
kepadaku, "Dikarenakan ia menginginkanmu sebagai istri kedua, dan saya
tahu kalau kamu sangat memerangi ta'addud (poligami)". Hampir saja saya
berteriak di hadapannya, "Kenapa kamu tidak menyetujuinya?" Saya rela
menjadi istri kedua, atau ketiga, atau keempat... Kedua tanganku di
dalam api. Saya setuju, ya saya yang dulu memerangi ta'addud, sekarang
menerimanya. Saudaraku berkata, "Sudah terlambat"

Sekarang saya mengetahui hikmah dalam ta'addud. Satu hikmah ini telah
membuatku menerima, bagaimana dengan hikmah-hikmah yang lain? Ya ALlah,
ampunilah dosaku. Sesungguhnya saya dahulu tidak mengetahui. Kata-kata
ini saya tujukan untuk kaum laki-laki, "Berta'addud-lah, nikahilah satu,
dua, tiga, atau empat dengan syarat mampu dan adil. Saya ingatkan kalian
dengan firman-Nya, "... Maka nikahilah olehmu apa yang baik bagimu dari
wanita, dua, atau tiga, atau empat, maka jika kalian takut tidak mampu
berlaku adil, maka satu..." Selamatkanlah kami. Kami adalah manusia
seperti kalian, merasakan juga kepedihan. Tutupilah kami, kasihanilah kami."

Dan kata-kata berikut saya tujukan kepada saudariku muslimah yang telah
bersuami, "Syukurilah nikmat ini karena kamu tidak merasakan panasnya
api menjadi perawan tua. Saya harap kamu tidak marah apabila suamimu
ingin menikah lagi dengan wanita lain. Janganlah kamu mencegahnya, akan
tetapi doronglah ia. Saya tahu bahwa ini sangat berat atasmu. Akan
tetapi, harapkanlah pahala di sisi ALlah. Lihatlah keadaan suadarimu
yang menjadi perawan tua, wanita yang dicerai, dan janda yang ditinggal
mati; siapa yang akan mengayomi mereka? Anggaplah ia saudarimu, kamu
pasti akan mendapatkan pahala yang sangat besar dengan kesabaranmu"

Engkau mungkin mengatakan kepadaku, "Akan datang seorang bujangan yang
akan menikahinya". Saya katakan kepadamu, "Lihatlah sensus penduduk.
Sesungguhnya jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Jika setiap
laki-laki menikah dengan satu wanita, niscaya banyak dari wanita-wanita
kita yang menjadi perawan tua. Jangan hanya memikirkan diri sendiri
saja. Akan tetapi, pikirkan juga saudarimu. Anggaplah dirimu berada
dalam posisinya".

Engkau mungkin juga mengatakan, "Semua itu tidak penting bagiku, yang
penting suamiku tidak menikah lagi." Saya katakan kepadamu, "Tangan yang
berada di air tidak seperti tangan yang berada di bara api. Ini mungkin
terjadi. Jika suamimu menikah lagi dengan wanita lain, ketahuilah
bahwasanya dunia ini adalah fana, akhiratlah yang kekal. Janganlah kamu
egois, dan janganlah kamu halangi saudarimu dari nikmat ini. Tidak akan
sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa
yang ia cintai untuk dirinya sendiri". (1)

Demi ALlah, kalau kamu merasakan api menjadi perawan tua, kemudian kamu
menikah, kamu pasti akan berkata kepada suamimu "Menikahlah dengan
saudariku dan jagalah ia". Ya ALlah, sesungguhnya kami memohon kepadamu
kemuliaan, kesucian, dan suami yang shalih"

Keluarnya Mani Beserta Air Kencing Kemudian Setelah Itu Keluar Mani Tanpa Syahwat

Keluarnya Mani Beserta Air Kencing Kemudian Setelah Itu Keluar Mani Tanpa Syahwat

Tanya :

Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ ditanya: Saya mengeluarkan mani yang disertai air kencing, kemudian setelah itu keluar mani tanpa syahwat, dan saya pun tidak terangsang, apakah saya harus mandi dan apakah cairan yang keluar itu termasuk najis atau bukan?

Jawab :

Cairan yang keluar dari Anda yang disertai dengan air kencing tanpa syahwat adalah wadi, hukum cairan tersebut adalah najis sama halnya dengan air kencing, Anda tidak wajib mandi karenanya akan tetapi wajib bagi Anda untuk membersihkan najis tersebut dan bagian yang terkena itu.
( Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/292. )

Larangan Menikah Tanpa Wali

Larangan Menikah Tanpa Wali

Mukaddimah

Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ dimana seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua angkat, kenalannya dan sebagainya.

Ini tentunya sebuah masalah pelik yang perlu dicarikan akar permasalahan dan solusinya secara tuntas, sehingga tidak berlarut-larut dan menjadi suatu trendi sehingga norma-norma agama diabaikan sedikit demi sedikit bahkan dilabrak.

Tidak luput pula dalam hal ini, tayangan-tayangan di berbagai media televisi yang seakan mengamini tindakan tersebut dan dengan tanpa kritikan dan sorotan menyuguhkan adegan-adegan seperti itu di hadapan jutaan pemirsa yang notabenenya adalah kaum Muslimin.
Hal ini menunjukkan betapa umat membutuhkan pembelajaran yang konfrehensif dan serius mengenai wawasan tentang pernikahan yang sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya mengingat tidak sedikit tradisi di sebagian daerah (untuk tidak mengatakan seluruhnya) yang bertolak belakang dengan ajaran agama dan mentolerir pernikahan tanpa wali tersebut bilamana dalam kondisi tertentu seperti tradisi ‘kawin lari’. Dengan melakukan tindakan ini dengan cara misalnya, menyelipkan sejumlah uang di bawah tempat tidur si wanita, seakan kedua mempelai yang telah melakukan hubungan tidak shah tersebut -karena tanpa wali yang shah- menganggap sudah tidak ada masalah lagi dengan pernikahannya sekembalinya dari melakukan pernikahan ala tersebut.

Sebagai dimaklumi, bahwa tradisi tidak dianggap berlaku bilamana bertabrakan dengan syari’at Islam.
Mengingat demikian urgen dan maraknya masalah ini, sekalipun sudah menjadi polemik di kalangan ulama fiqih terdahulu, maka kami memandang perlu mengangkatnya lagi dalam koridor kajian hadits, semoga saja bermanfa’at bagi kita semua dan yang telah terlanjur melakukannya menjadi tersadar, untuk selanjutnya kembali ke jalan yang benar.

Naskah Hadits
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu 'anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.”
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu 'anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”

Takhrij Hadits Secara Global

Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).

Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah).
Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy. Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulâshah berkata, “Sesungguhnya Imam al-Bukhariy telah menilainya shahîh dan juga dijadikan argumentasi oleh Ibn Hazm.” Al-Hâkim berkata, “Riwayat mengenainya telah shahih berasal dari ketiga isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam; ‘Aisyah, Zainab dan Ummu Salamah.” Kemudian dia menyebutkan 30 orang shahabat yang semuanya meriwayatkannya.

Syaikh al-Albaniy berkata, “Tidak dapat disangkal lagi, hadits tersebut berkualitas Shahîh sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa tersebut dinilai shahih oleh banyak ulama. Jika, digabungkan lagi dengan riwayat pendukung dari sisi matan (Tâbi’) dan sebagian riwayat pendukung dari sisi sanad (Syâhid) yang kualitasnya tidak lemah sekali, maka hati kita menjadi tenang untuk menerimanya.”

Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.

Hadits ini dinilai shahih oleh Ibn Ma’in, Abu ‘Awânah dan Ibn Hibban. Al-Hâkim berkata, “Hadits ini sesuai dengan syarat yang ditetapkan asy-Syaikhân (al-Bukhariy dan Muslim), diperkuat oleh Ibn ‘Adiy dan dinilai Hasan oleh at-Turmudziy. Hadits ini juga dinilai Shahîh oleh Ibn al-Jawziy akan tetapi beliau menyatakan bahwa terdapat ‘illat, yaitu al-Irsâl akan tetapi Imam al-Baihaqiy menguatkannya dan membantah statement Ibn al-Jawziy tersebut. Maka berdasarkan hal ini, hadits ini kualitas isnadnya Hasan. Wallahu a’lam.”

Beberapa Pelajaran dari Hadits-Hadits Tersebut
• Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga tidak shah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan ‘aqad nikah. Ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf’iy dan Ahmad serta jumhur ulama.
Dalil pensyaratan tersebut adalah hadits diatas yang berbunyi (artinya), “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
Al-Munawiy berkata di dalam kitab Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, “Hadits tersebut hadits Mutawatir.” Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hâkim dari 30 sumber. Sedangkan hadits ‘Aisyah diatas (no.3 dalam kajian ini) sangat jelas sekali menyatakan pernikahan itu batil tanpa adanya wali, dan bunyinya (artinya), “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil (tiga kali).”

• ‘Aqad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa’at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan, pengamatan yang seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara wanita biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada yang berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan akan ‘aqad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘aqad berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.

• Seorang wali disyaratkan sudah mukallaf, berjenis kelamin laki-laki, mengetahui manfa’at pernikahan tersebut dan antara wali dan wanita yang di bawah perwaliannya tersebut seagama. Siapa saja yang tidak memiliki spesifikasi ini, maka dia bukanlah orang yang pantas untuk menjadi wali dalam suatu ‘aqad nikah.

• Wali adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si wanita; sehingga tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya selama wali yang lebih dekat masih ada. Orang yang paling dekat hubungannya tersebut adalah ayahnya, kemudian kakeknya dari pihak ayah ke atas, kemudian anaknya ke bawah, yang lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi, kemudian saudara kandungnya, kemudian saudaranya se-ayah, demikian seterusnya berdasarkan runtut mereka di dalam penerimaan warisan. Disyaratkannya kedekatan dan lengkapnya persyaratan-persyaratan tersebut pada seorang wali demi merealisasikan kepentingan pernikahan itu sendiri dan menjauhi dampak negatif yang ditimbulkannya.

• Bila seorang wali yang memiliki hubungan jauh menikahkan seorang wanita padahal ada wali yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, maka hal ini diperselisihkan para ulama:
Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan tersebut Mafsûkh (batal).
Pendapat Kedua menyatakan bahwa pernikahan itu boleh.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa terserah kepada wali yang memiliki hubungan lebih dekat tersebut apakah membolehkan (mengizinkan) atau menfasakh (membatalkan) nya.
Sebab Timbulnya Perbedaan
Sebab timbulnya perbedaan tersebut adalah:
“Apakah tingkatan perwalian yang paling dekat dalam suatu pernikahan merupakan Hukum Syar’iy yang murni dan mutlak hak yang terkait dengan Allah sehingga pernikahan tidak dianggap terlaksana karenanya dan wajib difasakh (dibatalkan)”,
Ataukah “ia merupakan Hukum Syar’iy namun juga termasuk hak yang dilimpahkan kepada wali sehingga pernikahan itu dianggap terlaksana bilamana mendapatkan persetujuan si wali tersebut; bila dia membolehkan (mengizinkan), maka boleh hukumnya dan bila dia tidak mengizinkan, maka pernikahan itu batal (fasakh).”

• Perbedaan Para Ulama
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa adanya seorang wali merupakan syarat shah suatu akad nikah. Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, diantaranya Tiga Imam Madzhab.
Sementara Imam Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa hal itu bukanlah merupakan syarat.
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat terakhir ini banyak sekali namun masih dalam koridor permasalahan khilafiyyah yang amat panjang.
Diantara dalil mereka tersebut adalah mengqiyaskan (menganalogkan) nikah dengan jual beli. Dalam hal ini, sebagaimana seorang wanita berhak untuk memanfa’atkan dan menjual apa saja yang dia maui dari hartanya, demikian pula dia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Namun para ulama mengatakan bahwa ini adalah Qiyâs Fâsid (Qiyas yang rusak alias tidak sesuai dengan ketentuan) karena tiga faktor:
Pertama, karena ia merupakan Qiyas yang bertentangan dengan Nash sehingga menurut kaidah ushul, Qiyas seperti ini tidak boleh dan tidak berlaku.
Kedua, Dalam Qiyas itu harus ada kesamaan antara dua hukum dari kedua hal yang diqiyaskan tersebut, sementara disini tidak ada. Dalam hal ini, nikah merupakan hal yang serius, perlu pandangan yang tajam dan kejelian terhadap konsekuensi-konsekuensinya, namun berbeda halnya dengan jual beli yang dilakukan dengan apa adanya, ringan dan kecil permasalahannya .
Ketiga, bahwa akad terhadap sebagian suami bisa menjadi ‘aib dan cela bagi seluruh keluarga, bukan hanya terhadap isterinya semata. Jadi, para walinya ikut andil di dalam proses persemendaan (perbesanan), baik ataupun buruknya.

Dalam hal ini, Abu Hanifah membantah hadits ini dengan beragam jawaban:
Pertama, Terkadang beliau mengeritik sanad (jalur transmisi) hadits yang menurutnya terdapat cacat, yaitu adanya perkataan Imam az-Zuhriy kepada Sulaiman bin Musa, “Saya tidak mengenal hadits ini.”
Kedua, mereka mengatakan bahwa lafazh “Bâthil” di dalam teks hadits tersebut dapat dita’wil dan maksudnya adalah “Bishodadil Buthlân wa mashîruhu ilaihi.” (Maka pernikahannya akan menuju kebatilan dan berakibat seperti itu).
Ketiga, mereka berkata bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan wanita (Mar`ah) di dalam teks hadits tersebut adalah wanita yang gila atau masih kecil (di bawah umur)…
Dan bantahan-bantahan lainnya yang tidak kuat dan sangat jauh dimana para ulama juga menanggapinya satu per-satu.

Tanggapan Terhadap Bantahan Tersebut

Terhadap Bantahan Pertama, bahwa sebenarnya hadits tersebut memiliki banyak jalur yang berasal dari para Imam-Imam Besar Hadits dan periwayat, bukan seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah melalui perkataan Imam az-Zuhriy tersebut.
Terhadap Bantahan Kedua, bahwa ta’wil tersebut tidak tepat dan amat jauh dari sasaran.
Terhadap Bantahan Ketiga dan seterusnya, bahwa nash-nash tentang hal itu amat jelas sehingga tidak membutuhkan ta’wil-ta’wil semacam itu. wallahu a’lam.

Dalil-Dalil Pensyaratan Wali

Diantara dalilnya adalah hadits yang telah dipaparkan diatas, dan mengenainya:
a. ‘Aliy al-Madiniy berkata, “Shahîh”. Pensyarah berkata, “Ia dinilai Shahîh oleh al-Baihaqiy dan para Huffâzh .”
Adl-Dliyâ` berkata, “Sanad para periwayatnya semua adalah Tsiqât.”
b. Hadits tersebut juga telah dikeluarkan oleh al-Hâkim dan bersumber dari 30 orang shahabat.
c. Imam al-Munawiy berkata, “Ia merupakan hadits Mutawatir.”

Dalil lainnya:
- Bagi siapa yang merenungi kondisi ‘aqad nikah dan hal-hal yang dibutuhkan padanya seperti perhatian serius, upaya mencari mashlahat dan menjauhi dampak negatif dari pergaulan suami-isteri, kondisi suami dan ada tidaknya kafâ`ah (kesetaraan), pendeknya pandangan dan dangkalnya cara berfikir wanita serta mudahnya ia tergiur oleh penampilan, demikian pula bagi siapa yang mengetahui kegigihan para walinya dan keinginan mereka untuk membahagiakannya serta pandangan kaum lelaki yang biasanya jauh ke depan….barangsiapa yang merenungi hal itu semua, maka tahulah kita akan kebutuhan terhadap apa yang disebut Wali itu.

• Manakala kita mengetahui bahwa pernikahan tanpa wali hukumnya Fâsid (rusak), lalu jika ia terjadi juga, maka ia tidak dianggap sebagai pernikahan yang sesuai dengan syari’at dan wajib difasakh (dibatalkan) melalui hakim ataupun thalaq/cerai oleh sang suami.
Sebab, pernikahan yang diperselisihkan hukumnya perlu kepada proses Fasakh atau Thalaq, berbeda dengan pernikahan Bâthil yang tidak membutuhkan hal itu.

Perbedaan Antara Pernikahan Bâthil Dan Fâsid

- Bahwa terhadap pernikahan Bâthil, para ulama telah bersepakat hukumnya tidak shah, seperti menikah dengan isteri ke-lima bagi suami yang sudah memiliki empat orang isteri, atau menikah dengan saudara wanita kandung dari isteri (padahal saudaranya itu masih shah sebagai isteri)…Pernikahan seperti ini semua disepakati oleh para ulama kebatilannya sehingga tidak perlu proses Fasakh.
- Sedangkan pernikahan Fâsid adalah pernikahan yang diperselisihkan oleh para ulama mengenai shah nya seperti pernikahan tanpa wali atau tanpa para saksi ; Ini semua harus melalui proses Fasakh (pembatalan) oleh pihak Hakim atau proses Thalaq oleh sang suami.

• Bila seorang suami mencampuri isterinya melalui Thalaq Bâthil atau Fâsid, maka dia berhak untuk mendapatkan mahar utuh (sesuai yang disebutkan dalam aqad nikah, tidak boleh kurang) sebagai konsekuensi dari telah dicampurinya tersebut (dihalalkan farjinya).

• Bila seorang wanita tidak memiliki wali dari kaum kerabatnya, atau mantan budak wanita tidak mendapatkan mantan majikannya sebagai wali; maka yang bertindak menjadi walinya ketika itu adalah sang Imam (penguasa) atau wakilnya, sebab Sultan (penguasa) adalah bertindak sebagai wali orang yang tidak memiliki wali.

• Perselisihan Para Ulama Mengenai Pensyaratan Keadilan Wali
Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama:
1. Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya berpendapat bahwa seorang wali harus seorang yang adil secara zhahirnya, sebab hal ini merupakan Wilâyah Nazhoriyyah (perwalian yang memerlukan sudut pandang) sehingga si wanita ini tidak dizhalimi oleh wali yang fasiq.
2. Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa keadilan itu bukan merupakan syarat bagi seorang wali bahkan perwalian orang yang fasiq boleh hukumnya karena dia boleh menjadi wali bagi pernikahan dirinya sendiri sehingga perwaliannya atas orang selainnya shah hukumnya.
Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat yang berasal dari Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat pilihan pengarang kitab al-Mughniy (Ibn Qudamah), pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Sedangkan dari ulama kontemporer, pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’diy.
Pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr berkata, “Dalil yang shahih dan yang banyak diamalkan adalah bahwa ayahnya-lah yang memiliki wanita tersebut sekalipun kondisinya tidak baik selama dia bukan kafir. Saya tegaskan, berdasarkan pendapat inilah kaum Muslimin mengamalkannya.”

LAKI-LAKI MENYERUPAI WANITA ATAU SEBALIKNYA

LAKI-LAKI MENYERUPAI WANITA ATAU SEBALIKNYA

Di antara fitrah yang disyariatkan Allah kepada hambanya yaitu agar laki-laki menjaga sifat kelakiannya seperti yang diciptakan Allah Subhanahu wata'ala. Dan wanita agar menjaga sifat kewanitaannya seperti yang diciptakan Allah Subhanahu wata'ala. Hal ini merupakan salah satu sifat penting yang dimana dengannya kehidupan manusia berjalan normal.

Laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki adalah yang menyalahi fitrah, membuka pintu kerusakan serta menyebarkan kepincangan dalam tatanan hidup masyarakat. Hukum semua perbuatan itu adalah haram.

Jika suatu nash syari’ menyebutkan laknat terhadap suatu kaum karena melakukan perbuatan tertentu, maka itu menunjukkan keharaman perbuatan tersebut, maka ia termasuk dosa besar.

Dalam hadits marfu’ riwayat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu di sebutkan:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR Al Bukhari Fathul Bari : 10/332).

Dalam hadits lain juga Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu meriwayatkan :

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita dan wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki” (HR Al Bukhari, fathul Bari, 10/333)

penyerupaan yang dimaksud bersifat umum. Misalnya didalam melakukan gerakan tubuh dalam berbicara dalam berjalan dan di dalam seluruh gerak diam.

Termasuk di dalamnya cara berpakaian dan berdandan. Laki-laki tidak dibolehkan memakai kalung, gelang, anting, gelang kaki, dan sebagainya. Ironisnya, ini yang banyak kita saksikan, sebab semua itu merupakan perhiasan wanita.

Demikian juga sebaliknya, wanita tidak diperbolehkan memakai pakaian yang khusus digunakan laki-laki. Misalnya kemeja, baju atau pakaian khusus untuk pria lainnya. Masing-masing hendaknya menjaga perbedaan jenisnya, dengan memakai pakaian sesuatu dengan fitrahnya. Dalil yang mewajibkan hal tersebut adalah hadits marfu’ riwayat Abu Hurairah :

“Allah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakian laki-laki” ( HR Abu Dawud: 4/355; Shahihul Jami’ : 5071).

------------------------

MAHAR (MAS KAWIN)

MAHAR (MAS KAWIN)

T
ermasuk keutamaan agama Islam di dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita adalah dengan memberikan hak yang dipintanya berupa mahar kawin. Alloh f berfirman :
   
"Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan" (QS. An-Nisaa : 4)

Sesungguhnya tidak ada batasan minimum ataupun maksimum untuk jumlah mahar. Namun sebaik-baik mahar adalah yang ringan dan tidak memberatkan sebagai-mana sabda Nabi  :
"Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan maharnya" (HR. Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaqi)

Islam membenci mahar yang berlebihan, dan perkara ini termasuk perkara jahiliyah yang akan membawa keburukan bagi kehidupan manusia.

Mahar dapat berupa materi maupun non materi. Mahar berupa materi dapat berbentuk uang, barang, harta ataupun lainnya. Mahar berupa non materi dapat berupa jasa, semisal mengajarkan isteri membaca al-Qur’an, mengajarkan Islam, menghafal al-Qur’an atau yang semisalnya. Sebagaimana riwayat dari Anas, dia berkata : “Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar berupa keIslaman-nya” (Riwayat An-Nasa'i)

Mahar boleh diberikan secara langsung (tunai) atau dengan menunda sebagian atau seluruhnya. Menyebutkan mahar pada saat ijab qobul adalah sunnah tidak wajib, namun menyebutkannya lebih utama.

MALAM PERTAMA

--- MALAM PERTAMA

Ketika pertama kali pengantin pria menemui istrinya, dianjurkan
melakukan perkara berikut:

Pertama: bercumbu rayu dengan penuh kelembutan. Misalnya dengan
memberinya minum atau yang lainnya. Berdasarkan hadits Asma binti
Yazid , ia berkata: `Saya merias `Aisyah untuk Rasulullah. Setelah
itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu
kepada `Aisyah. Beliaupun datang lalu duduk di sisi `Aisyah. Kala itu
beliau disodori segelas susu. Setelah beliau minum gelas itu, beliau
sodorkan kepada `Aisyah. Tetapi `Aisyah menundukkan kepalanya dan
malu. Asma' binti Yazid berkata: `Ambillah gelas itu dari tangan
RasuluLlah'. `Aisyah pun meraih gelas itu dan meminumnya sedikit.
(HR. Ahmad VI/438,453,458 )

Kedua: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun
mempelai wanita seraya mendoakannya. RasuluLlah bersabda: "Apabila
salah seorang dari kamu menikahi seorang wanita atau membeli seorang
budak, maka peganglah ubun-ubunnya, lalu bacalah basmallah serta
do'akanlah dengan doa barokah sembari mengucapkan:

`Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan wanita ini dan
kebaikan yang Engkau berikan kepadanya. Dan aku memohon perlindungan
kepada-Mu dari keburukan wanita ini dan keburukan yang Engkau
tetapkan untuknya." (HR. Bukhari, Abu Dawud 2160).

Ketiga: hendaknya ia melaksanakan sholat dua rakaat bersama mempelai
wanita. Syaikh Al-Albany berkata: "Hal itu telah ada sandarannya dari
kaum salaf. Diantaranya hadits Abu Sa'id maula (bekas budak) Abu
Usaid, ia berkata: "Saya menikah ketika saya masih seorang budak.
Kala itu saya mengundang beberapa orang sahabat Nabi, di antaranya
Ibnu Mas'ud, Abu Dzar dan Hudzaifah. Abu Said melanjutkan: `Lalu
tibalah waktu sholat, Abu Dzar bergegas maju untuk mengimami sholat.
Tetapi mereka berkata:'Kamulah yang berhak'. Ia berkata: Apakah
demikian? `Benar!' jawab mereka. Akupun maju mengimami mereka sholat,
ketika itu saya masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajari
saya: `Jika istrimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua
sholat dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah kebaikan istrimu
dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya
terserah kalian berdua." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf I/50 &
XII/43)

Manuskrip Laut Mati Benarkan Kenabian Muhammad SAW!!

Manuskrip Laut Mati Benarkan Kenabian Muhammad SAW!!

Baru-baru ini (di abad kontemporer-red) telah ditemukan beberapa Manuskrip kuno pada sebuah galian di dalam beberapa bejana yang terbuat dari tanah liat di gua-gua dekat laut mati. Pemerintah Yordania lah yang kini memiliki manuskrip-manuskrip tersebut.

Mengenai penemuan tersebut, Dr. P.Bryan, ‘maestro’ ilmu purbakala Injil mengomentari, “Sungguh tidak ada keraguan lagi di dunia ini seputar kebenaran dan otentisitas manuskrip-manuskrip tersebut dan lembaran-lembarannya itu akan menjadi sebuah revolusi di dalam pemikiran kita mengenai agama Kristen.”

Pendeta Prof. Powell Defner, kepala para orang-orang suci di Washington di dalam bukunya, “Manuskrip-Manuskrip Laut Mati” mengatakan, “Sesungguhnya manuskrip-manuskrip laut mati yang merupakan penemuan paling besar dan penting sejak beberapa abad lalu bisa jadi akan merubah pemahaman tradisional mengenai Injil.”

Ternyata, di dalam manuskrip-manuskrip itu terdapat pesan yang berbunyi: “Sesungguhnya Isa adalah Messia umat Masehi dan di sana akan ada seorang Messia yang lain….”

Arti Messia dalam bahasa Aram Kuno adalah Rasul. (Lihat, kitab Tauhid al-Khaliq karya Syaikh Abdul Majid az-Zandani)

NB:

Ungkapan “di sana akan ada seorang messia -alias Rasul- yang lain” tentu tidak lain yang dimaksud adalah nabi kita Muhammad SAW. Sedangkan messia yang untuk umat masehi itu tidak lain adalah nabi ‘Isa AS. Allahu Akbar!

Memilih Yang Shalihah

Memilih Yang Shalihah

Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah :
"Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
"Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya".
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.

Memutus Organ Reproduksi Tanpa Alasan

Memutus Organ Reproduksi Tanpa Alasan


Tanya :

Salah seorang saudara bertanya tentang hukum memutus reproduksi keturunan (melakukan pencegahan agar tidak punya anak) tanpa alasan. Alasan-alasan apa saja yang membolehkan kita melakukan hal tersebut?

Jawab :

Memberhentikan (memutus) organ reproduksi keturunan untuk selama-lamanya telah ditegaskan oleh para ulama bahwa hukumnya adalah haram, karena bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dari ummatnya, dan karena perbuatan tersebut merupakan faktor penyebab kehinaan kaum Muslimin. Sebab, semakin banyak kwantitas kaum Muslimin, maka mereka semakin mempunyai kekuatan dan rasa percaya diri. Maka dari itulah Allah Subhannahu wa Ta'ala menyebut di antara karunia yang dianugerahkan kepada Bani Israil adalah jumlah mereka yang banyak, sebagaimana firman-Nya,

“Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar.” (Al-Isra’: 6).
Allah juga mengingatkan kaum Nabi Syu’aib akan hal itu, seraya berfirman,
“Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu.” (Al-A’raf: 86).

Kenyataan telah menjadi saksi terhadap masalah ini, ummat atau bangsa yang populasinya tinggi tidak butuh kepada bangsa lain, ia mempunyai kekuasaan dan wibawa di hadaan musuh-musuhnya. Maka seseorang tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan terputusnya organ reproduksi keturunan untuk selama-lamanya, kecuali jika darurat (terpaksa) harus melakukannya, seperti jika kehamilan istri itu dikhawatirkan akan berakibat pada kematiannya, maka dalam kondisi seperti itu boleh dilakukan pemutusan kehamilan baginya. Inilah udzur atau alasan yang membolehkan pemutusan kehamilan organ (reproduksi keturunan). Demikian pula jika istri terkena penyakit pada rahimnya yang dikhawatirkan akan makin parah yang dapat mengakibatkan kematian-nya, sehingga terpaksa harus dilakukan pemotongan rahim, Maka dalam kondisi seperti itu tidak apa-apa memutus kehamilan untuk selama-lamanya.
( Ibnu Utsaimin: Fatawa, jilid 2, hal. 836.)

MENGAULI ISTRI LEWAT DUBUR (ANAL SEKS)

MENGAULI ISTRI LEWAT DUBUR (ANAL SEKS)

sebagian orang yang memiliki kelainan (abnormal) dari kalangan orang-orang yang lemah iman tidak segan-segan menggauli istrinya lewat dubur (tempat keluarnya kotoran).

Perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat para pelaku perbuatan keji tersebut.

Dalam hadits marfu’ dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu disebutkan :
“(Sungguh) terlaknat orang yang menggauli istrinya lewat duburnya” (HR Ahmad,2/479; dalam shahihul jam’ hadits no : 5865)

Bahkan lebih dari itu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang menggauli istri (yang sedang haid) atau menggauli diduburnya atau mendatangi dukun maka ia telah kufur (mengingkari) dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad” (HR At Tirmmidzi, dari Abu Hurairah dalam shahihul jami’, hadits No:5918)

Meskipun wanita normal enggan melayani kelainan suaminya, tapi pada akhirnya banyak yang tak berdaya, sebab tak jarang suami mengancam akan menceraikannya jika ia menolak.

Sebagian lain menipu istrinya yang malu bertanya tentang hukum masalah tersebut dengan mengatakan, hal itu halal dan dibolehkan. Mereka berdalil :
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu ini bagaimana saja kamu kehendaki” (Al Baqarah : 223).
Padahal kita tidak boleh menafsirkan maksud ayat di atas sesuai dengan keinginan kita, tetapi kita harus merujuk kepada sunnah. Sebab sebagaimana telah dimaklumi bersama, sunnah adalah penjelas Al Qur’an. Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan, suami beleh sekehendaknya menggauli istri, dari arah depan atau belakang selama di tempat jalan kelahiran anak (vagina). Dan tak diragukan lagi dubur atau anus bukanlah jalan kelahiran anak tetapi jalan keluarnya kotoran manusia.

Di antara sebab tejadinya perbuatan dosa ini adalah saat memasuki kehidupan rumah tangga yang suci, mereka masih membawa warisan jahiliyah yang kotor berupa berbagai adegan menyimpang yang diharamkan. Atau masih membawa ingatan dan imajinasi adegan film-film porno tanpa taubat kepada Allah.
Perbuatan ini tetap haram, meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka oleh suami istri. Karena saling merelakan untuk mengerjakan perbuatan haram tidak menjadikannya sebagai berbuatan halal.

------------------------

Nasihat Buat Para Suami

Nasihat Buat Para Suami


Apa yang memberatkanmu wahai hamba Allah!
untuk bermuka cerah di depan isterimu ketika masuk rumah, agar engkau mendapat pahala dari Allah?!!
Apakah berat bagimu jika engkau melemparkan senyuman kepada isteri dan anak-anakmu?!!
Apakah mengurangi kewibawaanmu wahai hamba Allah! bila engkau mengecup kening isterimu dan bermain-main dengannya?!!
Apakah yang memberatkamny menyuapkan satu suapan makanan ke mulut isterimu, hingga engkau mendapat pahala karenanya?!!
Apakah sulit bila masuk rumah engkau mengucpkan salam dengan sempurna: Assalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh; hingga engkau mendapatkan 30 kebaikan?!!
Mengapa engkau tidak berbicara dengan perkataan yang baik kepada isterimu, meskipun sedikit berbohong agar ia senang?!!
Tanyakanlah tentang isterimu, tanyakanlah keadaannya ketika engkau baru masuk rumah.
Aku pikir tidak mengapa dabn tidaklah berat bila engkau berkata kepada isterimu:
"Wahai kekasihku, sejak aku keluar dari sisimu sedari pagi hingga sekarang, seolah-olah setahun telah berlalu!!"
Sesungguhnya bila engkau mengharapkan pahala -walaupun engkau merasa jemu mendatangi dan mencampurinya- maka engkau mendapat pahala dan ganjaran Allah Ta'ala;
karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Dan dalam kemaluanmu ada sedekah."
Apakah termasuk suatu kebodohan wahai hamba Allah!
bila engkau berdo'a pada Allah seraya berkata:
"Ya Allah perbaikilah aku dan isteriku, serta berikanlah keberkahan kepada kami."
Sebuah ucapan yang baik adalah sedekah
Wajah berseri dan senyuman adalah sedekah
bersalaman sambil mengucapkan salam menghilangkan kesalahan-kesalahan
dalam jima' pun ada pahalanya.
==

Nasihat buat Para Isteri

Nasihat buat Para Isteri

Apakah engkau rugi bila menemui suamimu dengan wajah berseri dan senyuman?!!
Apakah berat bila engkau mengusap debu di wajah, kepala dan pakaiannya, dan engkau menciumnya?!!
Aku pikir tidaklah berat bila engkau tidak duduk sampai suamimu masuk dan duduk!!
Tidaklah sukar bila engkau ucapkan padanya "Alhamdulilah atas keselamatanmu, kami telah rindu menanti kedatanganmu, selamat datang."
Berdandanlah untuk suamimu -dan lakukanlah hal ini karena mengharap pahal dari Allah- sesungguhnya Allah tu indah dan menyukai keindahan
Pakailah parfum, celak, dan baju yang terbaik untuk menyambut kedatangan suamimu
Hidarilah olehmu kesedihan
Janganlah engkau condong dan mendengar omongan ornag yang mau merusak keutuhan ruamh tanggamu
Jangalah selalu gundah gulana,
tetapi berlindunglah pada Allah dari perasaan gundah gulana, lemah kepribadian, dan malas
Janganlah engkau merendahkan suaramu di hadapan laki-laki asing
nanti ia akan berniat yang bukan-bukan terhadapmu
Jadilah orang yang selalu lapang dada, berpikirlah jernih dan tenang, serta senantiasa mengingat Allah pada setiap masa
Hiburlah suamimu sehingga meringankan kepenatan, sekit, musibah, dan kesedihan
Anjurkan suamimu berbuat baik kepada kedua orang tuanya
Didiklah anak-anak dengan baik dan penuhilah rumahmu dengan tasbihm tahmid, takbir, dan tahlil,
serta perbanyaklah bacaan Al Qur'an, terutama surat Al Baqarah, karena ia dapat mengusir setan
Lepaslah dari rumahmu gambar-gambar bernyawa, alat-alat musik dan permainan yang merusak
Bangunkanlah suami untuk sholat malam
berilah semangat untuk puasa sunnah
ingatkanlah akan keutamaan infak,
dan jangan cegah suamimu dari silaturahmi
Perbanyaklah istighfar untuk dirimu, suamimu, orang tua, dan kaum muslimin
Mohonlah kepada Allah tuk mendapatkan anak yang shalih,
niat yang ikhlas dan kebaikan dunia serta akhirah
ketahuilah Rabbmu mendengar doamu dan mencintai orang-orang yang suka berdoa:
"Dan berkata Tuhanmu, berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan." (Ghaafir:60)
==

Nikah Di Pengadilan Inggris Disaksikan Satu Orang Muslim Dan Satu Orang Dari Ahli Kitab

Nikah Di Pengadilan Inggris Disaksikan Satu Orang Muslim Dan Satu Orang Dari Ahli Kitab


Pertanyaan.
Lajnah Da'imah ditanya : "Menikah di lembaga pernikahan negara Inggris yang
disaksikan satu orang muslim dan satu orang dari ahli kitab, apakah
pernikahan tersebut sah menurut syari'at ?".

Jawaban.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak sah
kecuali dengan dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil. Berdasarkan
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan dihadiri wali dan dua
orang saksi yang adil" [Hadits Riwayat Daruqutny]

Dan berdasarkan hadits yang lainnya.

"Artinya : Pelacur adalah wanita yang menikah sendiri tanpa ada bukti (wali
dan saksi)" [Hadits Riwayat At-Tirmidzi]

Dan Umar pernah mendapat laporan bahwa ada orang yang menikah hanya
disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata
: "Demikian itu adalah nikah sirri (rahasia), sendainya aku menemuinya, maka
aku akan merajamnya" [Hadits Riwayat Malik dalam kitab Al-Muwaththa']

Dan berdasarkan perkataan Ibnu Abbas : "Tidaklah suatu pernikahan dianggap
sah bila tidak dilandasi bukti (wali dan saksi).

Setelah memaparkan hadits-hadits tentang wali dan saksi dalam pernikahan.
Imam At-Tirmidzi berkata : "Pendapat yang disepakati para ulama dari
kalangan sahabat dan tabi'in adalah pendapat yang mengatakan bahwa wali dan
saksi adalah syarat sahnya pernikahan, dan tidak syah pernikahan yang tidak
dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil". Dan pendapat ini sesuai dengan
tujuan dari syari'at Islam, yaitu melindungi kehormatan, menjaga kemurnian
nasab, menghalangi perzinaan dan kejahatan serta mengantisipasi terjadinya
keretakan dalam kehidupan rumah tangga. Adapun pernikahan seorang muslim
dengan wanita ahli kitab adalah tidak sah kecuali dengan hadirnya wali dan
dua orang saksi muslim, ini menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi'i
sesuai dengan maksud hadits dan atsar juga tujuan syari'at. [Majalatul
Buhuts Islamiyah, 9/48]

Para Suami lah penyebabnya, akan tetapi ... !!

Para Suami lah penyebabnya, akan tetapi ... !!

Ketika mata-mata para isteri terbuka lebar, lisannya mulai "berani" berbicara, dan suaranya pun mulai nyaring, maka aku tidak jadi menasihati mereka dan hanya berusaha diam dan membisu.... Segala tetek-bengek mulai membuat sumpek: wajah tidak sumringah; pendengaran jadi berat manakala aku ingin mengajaknya berbicang-bincang tentang kelalaian kami, tentang malasnya kami dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan suka berleha-leha d engan waktu, dan ... dan.. masih banyak lagi. Akan tetapi, kami tidak pernah membicarakan permasalahan suami dan hak-haknya kepada kami dan kewajiban mereka kepada kami, sampai akhirnya terjadilah apa yang terjadi ...

a) Diantara mereka (para isteri) ada yang berkata, "Jasa apa yang telah ia (suami) lakukan, sehingga kalian mengatakan bahwa hak seorang suami dari kami adalah sangat besar, bahwa Rasulullah menyatakan seandainya diperintahkan seseorang untuk bersujud kepada sesama manusia, tentu aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya.?

b) Dan jika kita tanya kepada para isteri tentang segala permasalahan yang dihadapinya dalam keluarga di zaman ini -padahal aku mengira dengan pasti bahwa awal penyebab semua itu adalah sedikitnya dzikir kepada Allah, jauhnya kita dari Allah, tidak mengamalkan agama- maka tidak ada jawaban yang keluar dari lisan mereka (para isteri di zaman ini) selain: suami-lah penyebab semua ini, demi Allah !! Sungguh menyesakkan dadaku, demi Allah, bahkan miris ketika terdengar kabar dari kami-kami ini (para isteri dan para suami) hal yang memilukan. Allah berfirman, "Dan kami taqdirkan terjadinya mawaddah wa rahmah di antara kalian". Akan tetapi kami (para isteri) malah mengatakan, "Sebab terjadinya kegundahan dan malapetaka yang menimpa kami adalah para suami." Dan para suami pun mengatakan, "Wanita-lah penyebab semua itu."!! Seolah kita (suami dan isteri) adalah dua pihak yang saling berusaha menjatuhkan atau mengalahkan lawannya, dan mencerca aib-aib dan kekurangannya, padahal Allah berfirman, "Sebagai pasangan bagi masing-masing) seperti satu jasad, dan satu nyawa....

Para wanita membicarakan hal-hal yang menyenangkan dirinya dan juga menggunjingkan kesalahan-kesalahan suaminya, padahal Allah berfirman, "Laki-laki adalah Qawwam terhadap wanita." Qawwam, maknanya sangat luas, seandainya kita-kita ini para wanita dan para lelaki mau meresapinya, tentu akan terselesaikanlah segala permasalahan dan musibah. Maka wajib bagi seorang isteri untuk memberikan hak suaminya, dan menjadikan suaminya benar-benar sebagai seorang laki-laki, dan menempatkannya sesuai posisinya, menghormatinya, serta mentaatinya selama tidak menyuruh kepada ma'shiyat kepada Allah.

Dan ingatlah firman Allah, "Dan berlemah-lembut, dan banyak memaafkan kesalahan orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang ihsan". Ini adalah tentang sikap kepada orang lain, maka bagaimana lagi kita bersikap kepada suami kita... Dan ketahuilah wahai para isteri, bahwa muamalah yang baik ini akan berdampak positif yang sangat besar pada hati suami dan perbaikan kehidupan suami-isteri. Dan ingatlah, bahwa untuk semua itu, Allah menberikan pahala yang besar, lagi agung.....

Adapun kalian wahai para suami (yang beriman kepada Allah), maka kami mengatakan kepadamu sebagaimana Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik muamalahnya kepada anggota keluarganya".
Dan para wanita membutuhkan bukti cintamu, mawaddahmu, dan penghormatanmu; ia mengerjakan hal-hal yang kalian sukai. Rasulullah bersabda, "Cintailah/sukalah kalian kepada saudaramu tentang sesuatu yang kalian juga cinta kepadanya." Dan ketahuilah bahwa isteri juga manusia yang bisa bersalah, sama seperti kalian (para suami) juag bersalah. Bantulah mereka untuk mempelajari Islam, dan jangan kalian ridha dengan kemasiatan yang dilakukan isteri-isteri kalian...

Buatlah sesuatu untuk isterimu pada berbagai kesempatan sehingga engkau melihat kebahagiannya dan untuk menjaga citramu di sisi isterimu. Dan ingatlah bahwa Allah menjadikan kalian sebagai qawwam tidak lain karena Allah memberikan kekuatan yang lebih daripada kepada wanita, baik kemampuan akal, kemampuan fisik. Maka konsentrasikanlah dirimu untuk menjaga predikat qawwam ini untuk kemanfaatan diri dan keluarga, serta ingatlah bahwa jika engkau tidak menyukai isterimu pada salah satu sifatnya, pasti kamu menyukai sifat-sifat dia yang lain yang bahkan lebih banyak.

Usia Ideal Menikah

Usia Ideal Menikah






Pertanyaan.: Berapa usia ideal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki, karena ada sebagian remaja putri yang menolak dinikahi oleh lelaki yang lebih tua darinya ? Dan demikian pula banyak laki-laki yang tidak mau menikahi perempuan yang lebih tua daripada mereka. Kami memohon jawabannya. Jazakumullahu khairan

Jawaban.
Saya berpesan kepada para remaja putri agar tidak menolak lelaki karena usianya yang lebih tua dari dia, seperti lebih tua 10,20 atau 30 tahun. Sebab hal itu bukan alasan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikahi Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ketika beliau berusia 53 tahun, sedangkan Aisyah baru berusia 9 tahun. Jadi usia lebih tua itu tidak berbahaya, maka tidak apa-apa perempuannya yang lebih tua dan tidak apa-apa pula kalau laki-lakinya yang lebih tua.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menikahi Khadijah Radhiyallahu ‘anha yang pada saat itu berumur 40 tahun, sedangkan Rasulullah masih berusia 25 tahun sebelum beliau menerima wahyu. Itu artinya Khadijah lebih tua 15 tahun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian menikahi Aisyah Radhiyallahu ‘anha sedang umurnya baru enam tahun atau tujuh tahun dan beliau menggaulinya ketika dia berumur sembilan tahun sedang beliau lima puluh tiga tahun.

Banyak sekali mereka yang berbicara di radio-radio atau di televisi menakut-nakuti orang karena kesenjangan usia antara suami dan istri. Ini adalah keliru besar ! Mereka tidak boleh berbicara demikian ! Kewajiban setiap perempuan adalah melihat dan memperhatikan laki-laki yang akan menikahinya, lalu jika dia seorang yang shalih dan cocok, maka hendaknya ia menerima lamarannya, sekalipun lebih tua darinya.

Demikian pula bagi laki-laki, hendaknya lebih memperhatikan perempuan yang shalihah yang komit dalam beragama, sekalipun lebih tua darinya selagi perempuan itu masih dalam batas usia remaja dan produktif. Walhasil, bahwa masalah usia itu tidak boleh dijadikan sebagai penghalang dan tidak boleh dijadikan sebagai cela, selagi laki-laki atau perempuan itu adalah sosok lelaki shalih dan sosok perempuan shalihah. Semoga Allah memperbaiki kondisi kita semua.

Utamakan Menikah

Utamakan Menikah





Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ada suatu kebiasaan yang sudah meyebar, yaitu adanya gadis remaja atau orang tuanya menolak orang yang melamarnya, dengan alasan madih hendak menyelesaikan studinya di SMU atau di Perguruan Tinggi, atau sampai karena untuk mengajar dalam beberapa tahun. Apa hukumnya ? Apa nasihat Syaikh bagi orang-orang yang melakukannya, bahkan ada wanita yang sudah mencapai usia 30 tahun atau lebih belum menikah ?

Jawaban.
Nasehat saya kepada semua pemuda dan pemudi agar segera menikah jika ada kemudahan, karena Nabi Shallallau ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai baginya” [Muttafaq ‘Alaih]

Sabda beliau juga.

“Artinya : Apabila seseorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya datang kepadamu untuk melamar, maka kawinkanlah ia ( dengan putrimu), jika tidak niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi ini” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, dengan sanad Hasan]

Sabda beliau lagi.

“Artinya : Kawinkanlah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyaingi ummat-umat lain dengan jumlah kalian pada hari kiamat kelak”

Menikah juga banyak mengandung maslahat yang sebagiannya telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti terpalingnya pandangan mata (dari pandangan yang tidak halal), menjaga kesucian kehormatan, memperbanyak jumlah ummat Islam serta selamat dari kerusakan besar dan akibat buruk yang membinasakan.

Semoga Allah memberi taufiqNya kepada segenap kaum Muslimin menuju kemaslahatan urusan agama dan dunia mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Dekat

Tidak Boleh Bagi Perempuan Berhias Dihadapan Pelamarnya

Tidak Boleh Bagi Perempuan Berhias Dihadapan Pelamarnya





Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh bagi perempuan yang dilamar tampil dihadapan lelaki yang melamarnya dengan menggunakan celak, perhiasan dan parfum ? Apa pula hukum bingkisan ? Kami memohon penjelasannya, semoga Allah membalas Syaikh yang mulia dengan kebaikan.

Jawaban
Sebelum akad nikah terselenggara, maka perempuan yang dilamar tetap merupakan perempuan asing bagi calon suminya. Jadi, ia seperti perempuan-perempuan yang ada di pasar. Akan tetapi agama memberikan keringanan bagi laki-laki yang melamarnya untuk melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, karena hal itu diperlukan ; dan karena yang demikian itu lebih mempererat dan mengakrabkan hubungan keduanya kelak. Perempuan tersebut tidak keluar menghadap kepadanya dengan mempercantik diri dengan pakaian ataupun dengan make up, sebab ia masih berstatus asing bagi lelaki yang melamarnya. Kalau lelaki pelamar melihat calonnya dalam dandanan seperti itu, lalu nanti ternyata berubah dari sesungguhnya, maka keadaannya akan menjadi lain, bahkan bisa jadi keinginannya semula menjadi sirna.

Yang boleh dilihat oleh laki-laki pelamar pada perempuan yang dilamarnya adalah wajahnya, kedua kakinya, kepalanya dan bagian lehernya dengan syarat (ketika melihatnya) tidak berdua-duan dan pembicaraan langsung dengannya tidak boleh lama. Juga tidak boleh berhubungan langsung dengannya melalui telepon, sebab hal itu merupakan fitnah yang diperdayakan syetan di dalam hati keduanya. Kemudian, jika akad nikah telah dilaksanakan, maka ia boleh berbicara kepada perempuan itu, boleh berdua-duan dan boleh menggaulinya. Akan tetapi kami nasehatkan agar tidak melakkan jima’, sebab jika hal itu terjadi sebelum I’lanun nikah (diumumkan/dipublikasikan) dan kemudian hamil di waktu dini bisa menyebabkan tuduhan buruk kepada perempuan itu ; dan begitu pula kalau laki-laki itu meninggal sebelum I’lanun nikah, lalu ia hamil maka ia akan mendapatkan berbagai tuduhan.

Tentang pertanyaan ketiga, yaitu bingkisan, itu merupakan hadiah dari lelaki yang melamar untuk calon istri yang dilamarnya, sebagai tanda bahwa laki-laki itu benar-benar ridha dan suka kepada calon pilihannya, maka hukumnya boleh-boleh saja, karena pemberian hadiah seperti itu masih dilakukan oleh banyak orang sekalipun dengan nama lain.

Yang Dibolehkan Bagi Suami Terhadap Istrinya yang Sedang Nifas

Yang Dibolehkan Bagi Suami Terhadap Istrinya yang Sedang Nifas


Tanya :

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya: Apa yang dibolehkan bagi seorang suami terhadap istrinya yang sedang nifas?

Jawab :

Yang dibolehkan bagi seorang suami terhadap istrinya yang sedang nifas adalah menggaulinya selain kemaluan, hal ini berdasarkan hadits Aisyah Radhiallaahu anha, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memerintahkanku maka aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku, dan saat itu aku sedang haidh,” yang dimaksud mencumbui di sini adalah menyentuhnya selain kemaluannya, dan makruh menyetubuhi isteri sebelum empat puluh hari walaupun telah habis darah nifasnya serta setelah bersuci.

Ahmad mengatakan: Hal yang mengejutkanku adalah jika seorang suami mencampuri istrinya (sebelum empat puluh hari), disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, maka Utsman berkata: “Wahai istriku janganlah engkau mendekatiku karena sesungguhnya dikhawatirkan darah nifas itu akan kembali saat melakukan persetubuhan.
( Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammd bin Ibrahim, 2/102.”. )

RUKUN AKAD NIKAH

RUKUN AKAD NIKAH

R
ukun akad nikah ada 3, yaitu :
1. Suami. Disyaratkan suami itu bukan mahram dan haruslah muslim. Laki-laki kafir atau non muslim haram menikah dengan wanita muslimah. Apabila tetap dilangsungkan, maka pernikahannya batal dan hukum pergaulan diantara mereka sama dengan zina.
2. Isteri. Disyaratkan isteri haruslah bukan mahram dan tidak ada pencegah seperti sedang dalam masa ‘iddah atau selainnya.
3. Ijab Qobul (Serah Terima). Ijab adalah ungkapan pertama kali yang diucapkan wali wanita dan Qobul adalah ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh calon suami. Ijab qobul boleh dilakukan dengan bahasa, ucapan dan ungkapan apa saja yang tujuannya diketahui untuk menikah.


SYARAT SAHNYA NIKAH

S
yarat-syarat sahnya nikah ada 4, yang apabila tidak terpenuhi salah satu darinya maka pernikahannya menjadi tidak sah. Yaitu :
1. Menyebut secara spesifik (ta’yin) nama mempelai. Tidak boleh seorang wali hanya mengatakan, “saya nikahkan kamu dengan puteri saya” tanpa menyebut namanya sedangkan puterinya lebih dari satu.
2. Kerelaan dua calon mempelai. Dengan demikian tidak sah pernikahan yang dilangsungkan karena paksaan dan tanpa meminta persetujuan dari calon mempelai. Sebagaimana sabda Nabi : “Seorang gadis tidak boleh dinikahkan sehingga diminta persetujuannya” (HR Bukhari & Muslim)
3. Wali bagi mempelai wanita, sebagaimana dalam sabda Nabi  : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Abu Dawud). Yang menjadi wali bagi seorang wanita adalah ayahnya, kemudian kakek dari ayah dan seterusnya ke atas; kemudian anak lelakinya dan seterusnya ke bawah; Kemudian saudara kandung pria, saudara pria ayah dan seterusnya sebagaimana dalam hal warisan. Apabila seorang wanita tidak memiliki wali, maka sulthan (penguasa) yang menjadi walinya.
4. Dua orang saksi yang adil, beragama Islam dan laki-laki. Sebagaimana sabda Nabi  : “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil " (HR. Al-Baihaqi)

Riset: Kerja Malam Sebabkan Kanker Bagi Wanita!!

Riset: Kerja Malam Sebabkan Kanker Bagi Wanita!!

Riset ilmiah terbaru di Norwegia menyingkap, rutinitas kerja malam di kalangan wanita karir dapat menambah bahaya terserang kanker bagi mereka, khususnya kanker payudara.

Riset tersebut menganalisis beberapa kasus wanita-wanita yang terkena kanker di Norwegia selama 5 dekade lalu. Dari riset itu disimpulkan, banyak faktor yang ikut andil dalam menyebabkan terjadinya penyakit tersebut (di luar faktor-faktor keturunan atau yang berkenaan dengan kesuburan dan usia), khususnya setelah proses kelahiran pertama bagi kaum wanita.

Analisis itu menjelaskan, hampir 15% wanita yang terserang penyakit kanker payudara pernah bekerja pada jam-jam malam atau masa-masa pergantian antar siang dan malam.

Seorang peneliti wanita yang melakukan riset tersebut memantau kondisi para perawat yang bekerja pada jam-jam malam, wanita-wanita yang bekerja di bagian rontgen, wanita-wanita yang dalam setiap aktifitasnya selalu berinteraksi dengan ‘kawasan-kawasan magnetik’ atau pun mereka yang tinggal di tempat-tempat yang dekat dengan arus listrik tegangan ektra tinggi.

Dalam pemantauannya, peneliti itu menemukan kelompok-kelompok wanita tersebut lah yang paling banyak mengalami resiko terserang penyakit kanker payudara. Ia menegaskan, kelompok wanita yang paling sedikit mengalami payudara kanker adalah wanita-wanita yang mengalami kebutaan (tuna netra).

Lebih jauh peneliti Norwegia itu menyiratkan, wanita-wanita yang bekerja pada malam hari sepanjang waktu selalu berinteraksi dengan sinar yang menyebabkan berkurangnya daya tahan tubuh untuk memproduksi hormon ‘Milanonin’ yang terbentuk pada malam hari saat sedang tidur. Hormon inilah yang berfungsi menjaga sel-sel tubuh dan pori-pori melawan kanker dan dampak negatif sinar tersebut.

Seperti yang sudah terbukti secara medis, intensitas astrogen akan meningkat ketika intensitas milanonin berkurang sehingga mengakibatkan terserang penyakit kanker payudara.

Inilah salah satu sisi mukjizat ilmiah dari firman Allah SWT, “Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS.an-Naba’:11) Subhaanallah!! (AH)


NOTE: Masukan para pembaca yang budiman sangat kami harapkan, demi perbaikan ke depan.

Problem Seksualitas Remaja

Problem Seksualitas Remaja

"Kebiasaan jelek" (maaf, baca: onani dan masturbasi) adalah problematika seksual yang paling besar yang dilakukan oleh anak remaja atau anak yang memasuki masa puber, baik laki-laki maupun perempuan. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa cemas dan khawatir. Kebiasaan ini bisa diartikan sebagai suatu aktivitas mempermainkan daerah sekitar organ seksual untuk mencapai kenikmatan. Terkadang, kebiasaan jelek ini juga dilakukan oleh anak-anak pada usia yang masih tergolong dini.

Kebiasaan ini bisa diobati dengan mudah, khususnya pada anak-anak pada usia 1 atau 2 tahun (sebab hal ini adalah alami ketika memasuki tahapan masa genital). Yaitu dengan pura-pura tidak tahu akan gerak-gerik dan tidak membiarkan sang anak berlama-lama dalam kamarnya. Akan tetapi masalah akan menjadi demikian sukar manakala hal itu dilakukan oleh remaja, khususnya pada awal-awal masa puber dimana ia masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, serta banyak masuk ke kamar kecil. Atau semakin besarnya keinginan untuk telanjang di depan diri sendiri (mengaca -pent) atau di depan perempuan. Masalah ini berbeda antara anak kecil dengan remaja ketika mereka menyentuh organ-organ reproduksi, dimana anak remaja akan merasa adanya kenikmatan yang lebih daripada anak kecil. Hal ini menjadikan anak remaja semakin mendalam "perasaan nikmatnya" ketika melakukan kebiasaan jeleknya ini bila ia menonton TV, dan mendengarkan nyanyian yang rusak. Hal-hal ini bisa membangkitkan nafsu seks pada orang dewasa, maka bagaimana lagi dengan anak remaja??!
Demikian juga majalah-majalah yang rusak, maka anak laki-laki lebih banyak merasakan kenikmatan dengan melihat gambar daripada anak perempuan. Hal ini karena perbedaan organ-organ reproduksi diantara dua gender itu. Akan tetapi, siapa sih remaja dan anak-anak yang suka melakukan kebiasaan jelek ini?

Pada hakikatnya, adanya anak-anak yang suka melakukan kebiasaan jelek ini adalah karena mereka kehilangan "pemeliharaan" secara emosional. Maksudnya, kedua orang tua tidak atau kurang perhatian, tidak bisa menjadi teman bagi anak-anaknya, serta "tidak mengerti" dunia luar rumah yang menjadi "ekosistem" anaknya. Semua kelalaian orang tua dan saudara-saudaranya itulah yang turut mendorong sang anak melakukan kebiasaan jelek itu.

Adapun kenapa sang anak atau remaja sampai melakukan kebiasaan jelek itu? Jawabannya adalah karena inilah satu-satunya cara yang dengannya sang anak merasakan ketenangan dan kepuasan jiwa, serta adanya kompensasi rasa sayang dan cinta serta perhatian dari orang tuanya yang hilang. (Abm)

Shalat-shalat yang Ditinggalkan Selama Masa Haid

Shalat-shalat yang Ditinggalkan Selama Masa Haid


Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan selama masa haidh dan bolehkah baginya sekedar membasuh rambut ketika haidh .?

Jawaban
Wanita haidh tidak mengqadha shalatnya berdasarkan nash dan ijna', juga berdasarkan sabda Nabi Sjallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Bukankah jika seorang wanita sedang haidh ia tidak shalat dan tidak puasa"
Aisyah Radhiyallahu 'anha diatanya : "Mengapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidak harus mengqadha shalat ..?, maka Aisyaj menjawab : 'Kamipun mengalami hal itu, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada shalat'Ungkapan 'Aisyah ini menunjukan bahwa wanita haidh tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat, Adapun membasuh rambut pada masa haidh, maka hal itu dibolehkan. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa tidak boleh baginya membasuh rambut saat haidh, maka hal itu tudak benar, bahkan boleh baginya membasuh seluruh kepala dan tubuhnya serta lainnya sesukanya, juga boleh menggunakan inai saat haidh dan tidak ada dosa baginya .

[Fatawa Nur'ala Ad-Darb, Syaikh ibnu Utsaimin,hal 45]

Menunda Nikah Karena Masih Belajar

Menunda Nikah Karena Masih Belajar




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada suatu tradisi yang membudaya, yaitu perempuan atau orang tuanya menolak lamaran orang yang melamarnya karena alasan ingin meyelesaikan sekolahnya di SMU atau Perguruan Tinggi, atau bahkan karena anak (perempuan) ingin belajar beberapa tahun lagi. Bagaimana hukum masalah ini, apa nasehat Syaikh kepada orang-orang yang melakukan hal seperti itu, yang kadang-kadang anak perempuan itu sampai berusia 30 tahun belum menikah.

Jawaban.
Hukumnya adalah bahwa hal seperti itu bertentangan dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau bersabda.

“Artinya : Apabila datang (melamar) kepada kamu lelaki yang kamu ridhai akhlak dan (komitmennya kepada) agamanya, maka kawinkanlah ia (dengan putrimu).

“Artinya : Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mempunyai kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih dapat menahan pandangan mata dan lebih menjaga kehormatan diri”

Tidak mau menikah itu berarti menyia-nyiakan maslahat pernikahan. Maka nasehat saya kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin, terutama mereka yang menjadi wali bagi putri-putrinya dan saudari-saudariku kaum Muslimat, hendaklah tidak menolak nikah (perkawinan) dengan alasan ingin menyelesaikan studi atau ingin mengajar.

Perempuan bisa saja minta syarat kepada calon suami, seperti mau dinikahi tetapi dengan syarat tetap diperbolehkan belajar (meneruskan studi) hingga selesai, demikian pula (kalau sebagai guru) mau dinikahi dengan syarat tetap menjadi guru sampai satu atau dua tahun, selagi belum sibuk dengan anak-anaknya. Yang demikian itu boleh-boleh saja, akan tetapi adanya perempuan yang mempelajari ilmu pengetahuan di Perguruan Tinggi yang tidak kita butuhkan adalah merupakan masalah yang masih perlu dikaji ulang.

Menurut pendapat saya bahwa apabila perempuan telah tamat Tingkat Dasar (SD) dan mampu membaca dan menulis dengannya ia dapat membaca Al-Qur’an dan tafsirnya, dapat membaca hadits dan penjelasannya (syarahnya), maka hal itu sudah cukup, kecuali kalau untuk mendalami suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh ummat, seperti kedokteran (kebidanan, -pent-) dan lainnya, apabila di dalam studinya tidak terdapat sesuatu yang terlarang, seperti ikhtilat (campur baur dengan laki-laki) atau hal lainnya.

MENGGAULI ISTRI SAAT HAID

MENGGAULI ISTRI SAAT HAID

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah : haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sehingga mereka suci” (Al Baqarah : 222).

Karena itu seorang suami tidak halal menggauli istrinya sehingga ia mandi setelah darah haidnya berhenti. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
“Apabila mereka telah suci, maka gaulilah mereka di tempat yang diperintahkan oleh Allah kepadamu, sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang berbuat suci” (Al Baqarah : 222).

Mengenai kotornya perbuatan menggauli istri saat haid itu disebutkan dalam sabda nabi Shallallahu’alaihi wasallam :
“Barangsiapa menggauli istri (yang sedang) haid atau menggauli di duburnya atau mendatangi dukun maka ia telah kufur (mengingkari) dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad” (HR Al Tirmidzi dari Abu Hurairah :1/243; dalam shahihul jami’ hadits No : 5918)

Tetapi orang yang melakukannya dengan tanpa disengaja serta tidak mengetahui kondisi sang istri maka ia tidak berdosa. Berbeda jika ia melakukannya dengan sengaja serta mengetahui kondisi sang istri maka wajib baginya membayar kaffarat, menurut sebagian ulama yang menganggap shahih hadits tentang kaffarat. Yakni dengan membayar satu dinar atau setengahnya.

Dalam penerapan kafarat ini, para ulama juga berbeda pendapat, sebagian berkata, ia boleh memilih antara keduanya (satu atau setengah dinar). Sebagian lain berpendapat, jika ia menggauli di awal haid (ketika darah haid masih banyak keluar) maka ia membayar satu dinar, dan jika ia menggaulinya di akhir haid saat darah haid tinggal sedikit atau sebelum mandi dari haid maka ia membayar setengah dinar.
Menurut ukuran umum, satu dinar adalah 4,25 gram emas, orang yang bersangkutan boleh bersedekah dengannya atau dengan uang yang senilai dengannya.

Berkata Syaikh Ibn Baz : Yang benar adalah dia boleh memilih antara membayar kaffarat satu dinar atau setengahnya. Baik di awal haid atau di akhirnya. Adapun dinar adalah senilai 4/6 junaih Saudi, sebab satu junaih Saudi sama dendan 1, ¾ dinar.

------------------------

Wajib Mandikah Wanita Yang Bermimpi (Mimpi Basah)


Wajib Mandikah Wanita Yang Bermimpi (Mimpi Basah)
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah seorang wanita mengalami mimpi (mimpi basah)? Jika ia mengalami mimpi itu, apakah yang ia lakukan? Dan jika seorang wanita mengalami mimpi itu kemudian ia tidak mandi, apakah yang harus ia lakukan?
Jawaban:
Terkadang wanita itu mengalami mimpi (mimpi basah), sebab kaum wanita adalah saudara kaum pria, jika kaum pria mengalami mimpi maka demikian pulalah halnya wanita. Jika seorang wanita mengalami mimpi dan tidak keluar cairan syahwat pada saat bangun dari tidurnya, maka tidak ada kewajiban bagi wanita itu untuk mandi. Akan tetapi jika mimpi itu menyebabkan adanya air dari kemaluannya, maka wanita itu diwajibkan untuk mandi. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salim yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Wahai Rasulullah, apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mandi jika ia bermimpi ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.
"Artinya : Ya, jika ia melihat air".
Jadi jika mimpi itu menyebabkan keluar air maka wajib baginya untuk mandi.
Jika mimpi itu telah berlalu lama sekali dan mimpi itu tidak menyebabkan keluar air maka tidak ada kewajiban mandi atasnya, akan tetapi jika mimpi itu menyebabkan keluarnya air maka hendaknya ia menghitung berapa shalat yang telah ia tinggalkan lalu hendaknya ia melaksanakan shalat yang ia tinggalkan itu.
[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/20]

WANITA-WANITA YANG TIDAK PANTAS UNTUK DINIKAHI

WANITA-WANITA YANG TIDAK PANTAS UNTUK DINIKAHI


Kami bercanda ria dengan gadis-gadis dan merajut tali cinta dengan mereka, akan tetapi ketika kami hendak menikah, sama sekali kami tidak berfikir tentang gadis yang sudah menerjang pagar etika dan berkenalan dengan seorang pemuda yang asing darinya tanpa mengenal rasa malu atau risih… Mungkin Anda merasa keheranan dengan kata-kata ini, akan tetapi kami memandang hubungan kami dengan sebagian gadis sebagai hiburan semata…dan kalau kami hendak menikah, maka kami memandang dengan pandangan yang serius dan penuh kehati-hatian…“

“Kami bercanda ria dengan gadis-gadis dan merajut tali cinta dengan mereka, akan tetapi ketika kami hendak menikah, sama sekali kami tidak berfikir tentang gadis yang sudah menerjang pagar etika dan berkenalan dengan seorang pemuda yang asing darinya tanpa mengenal rasa malu atau risih… Mungkin Anda merasa keheranan dengan kata-kata ini, akan tetapi kami memandang hubungan kami dengan sebagian gadis sebagai hiburan semata…dan kalau kami hendak menikah, maka kami memandang dengan pandangan yang serius dan penuh kehati-hatian…“

Ini adalah kata-kata kebanyakan pemuda nakal, mereka berkenalan dengan para gadis dan mengikat tali hubungan yang diharamkan dengan mereka, akan tetapi mereka tidak pernah berfikir untuk menjadikan mereka sebagai istri…Bahkan mereka menganggap gadis-gadis tersebut tidak pantas untuk itu…

H.M.L berkata:”Aku tidak pernah memaksa seorangpun dari mereka untuk berbicara dan menjalin hubungan denganku. Dan sungguh aku tidak akan membiarkan saudari-saudariku melakukan hal ini, karena mereka bukanlah termasuk jenis ini (wanita murahan) yang aku kenal dengan baik…

Karena mereka yang suka bercanda dengan para pemuda melalui telephon hanyalah gadis murahan yang ada di jalanan…Seandainya mereka memiliki keluarga laki-laki, niscaya mereka akan menjadi bendungan yang kokoh dari terjerumusnya mereka ke dalam jurang yang bahaya ini”, selesai.

S.D –dia adalah pemuda yang baru berusia 21 tahun- berkata:”Aku sampai beberapa waktu lalu masih suka bercanda dengan sebagian gadis-gadis lewat telephon, akan tetapi sekarang aku tidak mau melakukannya lagi. Hal ini dikarenakan seorang pemuda pada masa-masa dini dari umurnya seperti ini, jiwanya sangat labil, kepribadiannya lemah. Oleh karena itu sangat mudah untuk terpengaruh atau meniru temannya, dan hal inilah yang aku alami.

Ketika aku mendapatkan seluruh temanku selalu bercanda dengan para gadis melalui telephon dan mereka memiliki pacar, akupun tergelincir di saat berusaha untuk meniru mereka!! Terus terang, gadis-gadis yang suka bercanda dengan laki-laki lewat telephon akhlaknya sangat rendah, walaupun aku menganggap hal ini adalah hal yang biasa, akan tetapi aku tidak rela bila saudari-saudariku melakukannya. Karena gaya hidup ini tidaklah ditempuh kecuali oleh wanita-wanita jalang”, selesai.

Kesimpulan ini bukanlah suatu hal yang aneh, karena seorang wanita yang berani untuk berkenalan dengan lelaki dan bercanda dengannya lewat telephon serta berjalan-jalan dengannya sekehendak hati adalah “wanita murahan”…bukan hanya di mata orang yang beragama saja, bahkan di mata para pemuda nakal sendiri…Kalau Anda bertanya kepada kebanyakan pemuda tersebut, Anda akan mendapatkan jawaban yang sama:”Siapa yang dapat menjamin kalau dia tidak akan berkenalan dengan lelaki lain setelah aku menikahinya?”.

Kita senang mendengar semangat para pemuda seperti ini, akan tetapi sangat disayangkan mereka hanya berfikir untuk diri sendiri dan tidak mau memikirkan saudara mereka sesama muslim. Padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabd:

إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم.

“Sesungguhnya apabila engkau mencari-cari aib orang lain, maka engkau telah atau hampir merusak mereka” (HR. Abu Dawud. Lihat Shahih Jaami’ush Shohgir no. 2295).

Kita berharap dari mereka agar mau menakar dengan satu takaran bukan dengan dua takaran.

Kemudian masih ada akibat yang pasti didapatkan yang terlalaikan oleh gadis penyeleweng ini, akan tetapi tidak lama lagi dia akan melihatnya sebagai kenyataan…Kenyataan ini diutarakan sendiri oleh para pemuda, yaitu mereka tidak pernah berfikiran untuk menjadikan gadis-gadis jenis ini sebagai istri, bahkan hanya sekedar terminal untuk hiburan.

Kalaupun sempat ada seorang pemuda disaat melamun berfikir untuk menikah dengan gadis yang terjalin dengannya”tali…” niscaya pihak-pihak lain akan campur tangan dan melarangnya untuk menikah dengan gadis ini. Mereka adalah keluarganya, apabila mereka adalah keluarga yang memiliki pamor yang baik…

Seorang gadis bernama F.B berkata:”…aku tidak merasa kalau aku telah ketagihan untuk bercanda lewat telephon, padahal aku betul-betul yakin kalau hubungan antara seorang gadis dan lelaki dengan cara seperti ini adalah sebuah kesalahan. Hubunganku dengan salah seorang pemuda berlanjut sehingga bersemilah benih cinta, akan tetapi keluarganya melarangnya untuk melamarku, kemudian berakhirlah kisahku dengannya…”, selesai.

Apabila gadis ini telah mengetahui hasil yang pasti dia dapatkan, lalu kenapa dia tidak berhenti semenjak awal dan menutup pintunya dari terpaan badai fitnah yang menyambar-nyambar?!

Ini adalah pengakuan dari para pemuda yang telah mencoba untuk meniti jalan yang penuh dengan penghianatan, janji palsu, serta kata-kata kotor. Dan pengakuan dari para gadis yang pernah mencoba jalan yang sama, mereka semua mengakui akan bahayanya jalan yang mereka lalui, serta hasil negative yang sudah menanti mereka.

Ini sangat jelas sebagai pertanda terbaliknya pandangan para pemuda terhadap para gadis serta sikap mereka yang menganggap gadis-gadis tersebut bersifat sangat jelek dan rendah. Sedang mereka tidak rela kalau saudari-saudari mereka seperti gadis-gadis tersebut. Ini adalah bukti bahwa mereka menganggap gadis-gadis tersebut sebagai perempuan murahan, tidak punya kehormatan dan rasa malu, serta rusak moral mereka…

Dan ini juga adalah gambaran seorang gadis yang terbalik, gadis yang hanyut dalam pacaran, padahal dia menyadari kalau dia hanya sebagai alat hiburan (pengisi kekosongan) dalam kehidupan pemuda tersebut. Dia tidak akan naik martabatnya menjadi seorang istri…Dimana letak sikap jujur terhadap diri sendir dan kemandirian sikap?!

اتــق الله فـتـقوى

جاوزت قلت امرئ إلا وصل

ليــس من يقـطع طــرقا

انـما من يتـق الله البــطل

Bertaqwalah kepada Allah karena taqwa kepada Allah tidaklah

Masuk di hati seseorang kecuali dia akan berhasil

Bukanlah pahlawan orang yang berhasil memotong jalan

Akan tetapi orang yang bertaqwa kepada Allah dialah pahlawan

Sabtu, 07 Agustus 2010

Hukum Asuransi

Hukum Asuransi

1. Bagaimanakah hukum asuransi dalam agama Islam? (‘Utsman, Kebumen)
2. Apa hukumnya bila kita bekerja di perusahaan asuransi atau menggunakan jasa asuransi?
(Nama dan alamat email pada redaksi)


Alhamdulillah, wa bihi nasta’in.
Permasalahan at-ta`min (asuransi) telah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Al-Albani v, baik itu asuransi jiwa, asuransi mobil, asuransi pertokoan, atau yang lainnya.
Maka beliau menjawab: “Asuransi yang dikenal pada masa ini, baik itu asuransi barang, asuransi mobil, asuransi pertokoan atau asuransi jiwa, saya berkeyakinan dengan keyakinan yang mantap bahwa perkara ini masuk dalam kategori perjudian yang terlarang dalam Al Qur`an dan As Sunnah…. Jadi asuransi (model sekarang ini) merupakan salah satu bentuk perjudian.
Adapun asuransi yang sesuai dengan syariat atau (dengan kata lain) asuransi yang Islami, sampai saat ini saya belum menemukan ada asuransi dengan pengertian yang dikenal pada masa ini yang dibenarkan oleh Islam, kecuali jika ditemukan di sana pertukaran faedah (manfaat) antara pihak pengansuransi (pemegang polis/nasabah) dan pihak penjamin asuransi (perusahaan).1
Misalnya: Seseorang yang mengasuransikan perumahannya atau pertokoannya dengan cara membebankan tanggung jawab kepada orang lain untuk menjaga keamanan perumahannya. Kemudian sebagai imbalannya dia membayar upah yang disepakati bersama, maka asuransi model ini boleh, karena masuk dalam kategori Al-Isti`jar.2
Adapun asuransi yang berjalan di atas sistem untung-untungan (adu nasib) maka itu adalah judi.
Adapun ta`min madhyur (nama suatu sistem asuransi) yang diwajibkan oleh pemerintahan untuk perbaikan (renovasi) ini dan itu misalnya, maka masuk dalam kategori pajak.3
Adapun asuransi atas pilihan sendiri yang dia usahakan untuk meraihnya maka tidak boleh (haram) dalam Islam, karena masuk dalam kategori judi.” (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 363)
Pada kesempatan lain Asy-Syaikh Al-Albani v juga ditanya tentang asuransi yang diwajibkan oleh pemerintah, bagaimana hukumnya?
Maka beliau menjawab: “Kami mengatakan bahwa asuransi yang dibayar oleh pemilik mobil karena paksaan pemerintah, masuk dalam kategori pajak (yang dipungut oleh pemerintah secara paksa) yang pada dasarnya tidak disyariatkan. Akan tetapi karena hal tersebut diwajibkan secara paksa kepada mereka (untuk membayarnya) maka mereka lepas dari tanggung jawab di hadapan Allah k dan tidak akan mendapatkan hukuman karenanya.
Lain halnya dengan asuransi yang merupakan pilihan sendiri (tanpa paksaan) sebagaimana kebanyakan asuransi yang ada, berupa asuransi perumahan, pertokoan, barang (dan yang lainnya) maka seluruhnya adalah judi, haram untuk dilakukan

Hari Kasih atau Valentine dalam tinjauan syariat

Hari Kasih atau Valentine dalam tinjauan syariat



Valentine’s Day sebenarnya, bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor kuffar. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine ? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabannya” (Al Isra' : 36).

Sebelum kita terjerumus pada budaya yang dapat menyebabkan kita tergelincir kepada kemaksiatan maupun penyesalan, kita tahu bahwa acara itu jelas berasal dari kaum kafir yang akidahnya berbeda dengan ummat Islam, sedangkan Rasulullah bersabda: Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radiyallahu 'anhu : Rasulullah bersabda: "Kamu akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang kamu maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Rasulullah bersabda: Kalau bukan mereka, siapa lagi?" ( HR. Bukhori dan Muslim ).

Pertanyaan : Sebagian orang merayakan Yaum Al-Hubb (Hari Kasih Sayang) pada tanggal 14 Februari [bulan kedua pada kalender Gregorian kristen / Masehi] setiap tahun, diantaranya dengan saling-menghadiahi bunga mawar merah. Mereka juga berdandan dengan pakaian merah (merah jambu,red), dan memberi ucapan selamat satu sama lain (berkaitan dengan hari tsb).

Beberapa toko-toko gula-gula pun memproduksi manisan khusus - berwarna merah- dan yang menggambarkan simbol hati/jantung ketika itu (simbol love/cinta, red). Toko-tokopun tersebut mengiklankan yang barang-barang mereka secara khusus dikaitkan dengan hari ini. Bagaimana pandangan syariah Islam mengenai hal berikut :

1. Merayakan hari valentine ini ?
2. Melakukan transaksi pembelian pada hari valentine ini?
3. Transaksi penjualan – sementara pemilik toko tidak merayakannya – dalam berbagai hal yang dapat digunakan sebagai hadiah bagi yang sedang merayakan?
Semoga Allah memberi Anda penghargaan dengan seluruh kebaikan !

Jawaban : Bukti yang jelas terang dari Al Qur’an dan Sunnah - dan ini adalah yang disepakati oleh konsensus ( Ijma') dari ummah generasi awal muslim - menunjukkan bahwa ada hanya dua macam Ied (hari Raya) dalam Islam : ' Ied Al-Fitr (setelah puasa Ramadhan) dan ' Ied Al-Adha (setelah hari ' Arafah untuk berziarah).

Maka seluruh Ied yang lainnya - apakah itu adalah buatan seseorang, kelompok, peristiwa atau even lain – yang diperkenalkan sebagai hari Raya / ‘Ied, tidaklah diperkenankan bagi muslimin untuk mengambil bagian didalamnya, termasuk mengadakan acara yang menunjukkan sukarianya pada even tersebut, atau membantu didalamnya – apapun bentuknya – sebab hal ini telah melampaui batas-batas syari’ah Allah:

وَتِلْكَ حُدُودُاللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. [ Surah At-Thalaq ayat 1]

Jika kita menambah-nambah Ied yang telah ditetapkan, sementara faktanya bahwa hari raya ini merupakan hari raya orang kafir, maka yang demikian termasuk berdosa. Disebabkan perayaan Ied tersebut meniru-niru (tasyabbuh) dengan perilaku orang-orang kafir dan merupakan jenis Muwaalaat (Loyalitas) kepada mereka. Dan Allah telah melarang untuk meniru-niru perilaku orang kafir tersebut dan termasuk memiliki kecintaan, kesetiaan kepada mereka, yang termaktub dalam kitab Dzat yang Maha Perkasa (Al Qur’an). Ini juga ketetapan dari Nabi (Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) bahwa beliau bersabda : “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum tersebut”.

Ied al-Hubb (perayaan Valentine's Day) datangnya dari kalangan apa yang telah disebutkan, termasuk salah satu hari besar / hari libur dari kaum paganis Kristen. Karenanya, diharamkan untuk siapapun dari kalangan muslimin, yang dia mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, untuk mengambil bagian di dalamnya, termasuk memberi ucapan selamat (kepada seseorang pada saat itu). Sebaliknya, adalah wajib untuknya menjauhi dari perayaan tersebut - sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan menjaga jarak dirinya dari kemarahan Allaah dan hukumanNya.

Lebih-lebih lagi, hal itu terlarang untuk seorang muslim untuk membantu atau menolong dalam perayaan ini, atau perayaan apapun juga yang termasuk terlarang, baik berupa makanan atau minuman, jual atau beli, produksi, ucapan terima kasih, surat-menyurat, pengumuman, dan lain lain. Semua hal ini dikaitkan sebagai bentuk tolong-menolong dalam dosa serta pelanggaran, juga sebagai bentuk pengingkaran atas Allah dan Rasulullah. Allaah, Dzat yang Maha Agung dan Maha Tinggi, berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. [Surah al-Maa.idah, Ayat 2]
Demikian juga, termasuk kewajiban bagi tiap-tiap muslim untuk memegang teguh atas Al Qur’an dan Sunnah dalam seluruh kondisi - terutama saat terjadi rayuan dan godaan kejelekan. Maka semoga dia memahami dan sadar dari akibat turutnya dia dalam barisan sesat tersebut yang Allah murka padanya (Yahudi) dan atas mereka yang tersesat (Kristen), serta orang-orang yang mengikuti hawa nafsu diantara mereka, yang tidak punya rasa takut - maupun harapan dan pahala - dari Allah, dan atas siapa-siapa yang memberi perhatian sama sekali atas Islam.

Maka hal ini sangat penting bagi muslim untuk bersegera kembali ke jalan Allah, yang Maha Tinggi, mengharap dan memohon Hidayah Nya (Bimbingan) dan Tsabbat (Keteguhan) atas jalanNya. Dan sungguh, tidak ada pemberi petunjuk kecuali Allaah, dan tak seorangpun yang dapat menganugrahkan keteguhan kecuali dariNya.

Dan kepada Allaah lah segala kesuksesan dan semgoa Allaah memberikan sholawat dan salam atas Nabi kita ( Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan rekannya.

Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa
Ketua : Syaikh ' Abdul ' Aziz Al Asy-Syaikh;
Wakil Ketua : Syaikh Saalih ibn Fauzaan;
Anggota: Syaikh ' Abdullaah ibn Ghudayyaan;

Anggota: Syaikh Bakar Ibn ' Abdullaah Abu Zaid

(Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah lil-Buhuts al-'Ilmiyyah Wal-Iftaa.- Fatwa Nomor 21203. Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia)

Dinukil dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0020123_1.htm.

Pertanyaan : Bagaimana hukum merayakan hari Kasih Sayang / Valentine Day's ?

Syaikh Muhammad Sholih Al-Utsaimin menjawab :
“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena:

Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam.

Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati.

Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)

Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.

Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.

Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah Subhannahu wa Ta'ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.

Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.

Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah Kita.

------------------------------------------------------
Penjelasan Tambahan :
Beberapa versi sebab-musabab dirayakannya hari Kasih sayang ini, dalam The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day.
1. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama –nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The World Book Encyclopedia, 1998).

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut Syirik, yang artinya menyekutukan Allah Subhannahu wa Ta'ala. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri! . Layaknya seorang muslim segera bertaubat mengucap istighfar, "Astaghfirullah", wa naudzubillahi min dzalik. (Dari berbagai sumber).